Hibah
Agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. Surat Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.
Selain itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya (hukumnya sunnah dan lebih baik). Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah agar tidak muncul masalah di kemudian hari.
Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi.
2. Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait, selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.
Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus dibalik-nama pada saat penghibahan itu.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.
Sebagai pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan kepemilikan.
Kalau ini dikatakan wasiat, tidak boleh. Karena wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, apalagi kepada istri. Yang benar adalah hibah jika ada bukti, namun jika tidak ada bukti, si istri tetap mendapatkan ¼, dan selebihnya diberikan kepada keponakannya.
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
Diantara Syarat-Syarat Penghibah
Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan dan benar-benar memiliki harta tersebut.
Penghibah itu benar-benar ikhlas tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
Orang yang mendapat hibah, menerima hibah tersebut.
Kepemilikan pindah saat hibah diberikan, tidak harus menunggu meninggal dunia.
Bagaimana dengan saksi? Saksi itu dalam setiap transaksi hukumnya adalah sunnah. Termasuk dalam jual beli, hutang piutang ataupun hibah. Namun jika transaksi tersebut bernilai tinggi/berharga maka mengharuskan menghadirkan saksi karena jauh lebih baik. Hanya satu saja, yang mewajibkan adanya saksi yaitu dalam akad pernikahan. Padahal pernikahan termasuk bidang muamalah, namun muamalah khusus. Para ulama’ memisahkan antara muamalah dalam arti jual beli dan lain-lain, dan muamalah dalam arti pernikahan. Akad nikah ini harus ada saksi, jika tidak ada maka akad nikah tersebut tidak sah.
Apakah hibah ini harus sama pembagiannya antara satu anak dengan anak lainnya? Atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya ?
Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Ibnu Jauzi, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits). Sedangkan ulama Hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.
Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:
Pertama: jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya adalah hadits di bawah ini:
Dari sahabat An-Nu’maan bin Basyiir, beliau berkata,
أَعْطَانِي أبي عَطِيَّةً فقالت عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حتى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال إني أَعْطَيْتُ ابْنِي من عَمْرَةَ بِنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً فَأَمَرَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ يا رَسُولَ اللَّهِ قال أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هذا قال لَا قال فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ قال فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ
“Ayahku (Basyiir) memberikan suatu pemberian kepadaku, maka Ibuku ‘Amrah binti Rawaahah berkata, “Aku tidak ridha sampai engkau menjadikan Rasulullah sebagai saksi (atas pemberian ini)”. Maka ayahkupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Aku telah memberikan kepada anakku -dari istriku ‘Amrah binti Rawaahah- sebuah pemberian, lantas istriku memintaku untuk meminta persaksian darimu wahai Rasulullah”. Nabi berkata, “Apakah engkau juga memberikan kepada seluruh anak-anakmu sebagaimana yang kau berikan kepada An-Nu’maan?”. Ayahku berkata, “Tidak”. Nabi berkata, “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan bersikaplah adil terhadap anak-anakmu!”. Maka ayahkupun balik dan mengambil kembali pemberian yang telah ia berikan.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun pemberian yang diberikan kepada An-Nu’man dari ayahnya adalah seorang budak milik ayahnya. (lihat HR. Abu Dawud)
Dalam lafal yang lain Rasulullah mengulang-ngulang perkataannya,
اعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ اعْدِلُوا بين أَبْنَائِكُمْ
“Bersikalah adil terhadap anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam lafal yang lain Rasulullah berkata (dalam konteks larangan)
لَا تُشْهِدْنِي على جَوْرٍ
“Janganlah engkau menjadikan aku saksi atas suatu kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafal yang lain Rasulullah bersabda:
فَأَشْهِدْ على هذا غَيْرِي ثُمَّ قال أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ في الْبِرِّ سَوَاءً قال بَلَى قال فلا إِذًا
Carilah orang selainku untuk menjadi saksi atas hal ini !, Apakah senang jika seluruh anak-anakmu sama berbakti kepadamu?, ayahku berkata, “Tentu saja”, Nabi berkata, “Kalau bagitu jangan (kau berikan pemberian terhadap An-Nu’maan).” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas jelas bahwasanya ayah An-Nu’man yang bernama Basyiir berpoligami, dan An-Nu’maan adalah seorang anak dari salah satu istrinya yang bernama ‘Amrah binti Rawaahah. Dan Basyiir ingin menghadiahkan seorang budak kepada An-Nu’man saja, sementara anak-anaknya yang lain dari istri-istri yang lainnya tidak ia berikan hadiah sebagaimana ia berikan kepada Nu’man.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa hadiah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya dengan tidak adil merupakan kedzaliman dan tidak sah, maka harus dikembalikan hadiah tersebut. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanaabilah dan Madzhab dzohiriah, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Qudamah Rahimahullahu dari madzhab Hanbali berkata, “Wajib bagi seseorang untuk menyamaratakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian –jika salah seorang diantara mereka tidak memiliki kondisi khusus yang membolehkan untuk dilebihkan dalam pemberian-. Jika ia mengkhususkan sebuah pemberian kepada sebagian anak-anaknya atau tidak sama rata dalam pemberian di antara anak-anaknya maka dia telah berdosa. Dan wajib baginya untuk menyamatarakan dengan salah satu dari dua cara, dengan mengambil kembali kelebihan pemberian yang telah diberikannya kepada sebagian anak-anaknya atau dengan menambah pemberian kepada anak-anaknya yang lain (sehingga sama rata).“ (Al-Mughni 8/256)
Ibnu Hazm Rahimahullahu berkata, “Tidak halal bagi seorangpun untuk memberi hadiah atau memberi shadaqah kepada salah seorang anaknya hingga ia memberikan yang sama kepada seluruh anak-anaknya. Dan tidak halal ia memberikan kepada anak lelaki lebih dari anak perempuannya atau sebaliknya. Jika dia melakukannya maka hadiah tersebut batal dan tertolak selamanya.“ (Al-Muhallaa 9/142)
Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu pernah ditanya, “Tentang seseorang yang mengkhususkan sebagian anak-anak putrinya dengan memberikannya sekitar 200 ribu dirham, dan sebagian lagi diberikan wakaf sebagian hartanya. Apakah ahli waris orang ini berhak untuk membatalkan ini semua atau tidak?”
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah, bahkan wajib baginya untuk berbuat adil diantara anak-anaknya sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, sebagaimana telah valid dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau berkata kepada Basyiir bin Sa’d, “Bertakwalah engkau kepada Allah dan bersikaplah adil diantara anak-anakmu.” Beliau juga berkata, “Janganlah menjadikan aku saksi atas kedzaliman!,” dan Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan kelebihan (harta yang telah ia hadiahkan kepada An-Nu’maan-pent) kepada seluruh anak-anaknya.
Maka jika orang ini telah meninggal dan ia tidak berbuat adil maka kedlalimannya harus ditolak menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama, sebagaimana diperintahkan oleh Abu Bakr dan Umar terhadap harta Sa’d bin ‘Ubaadah. Dan seluruh anak-anaknya yang terdlalimi berhak untuk menuntut hak mereka dan berhak untuk membatalkan pengkhususan (hadiah harta yang telah dilakukan ayah mereka-pent) yang menjadikan mereka terdlalimi. Dan sikap membantu anak-anak tersebut dalam rangka agar mereka memperoleh hak mereka termasuk perbuatan amalan shaleh yang pelakunya diberi pahala oleh Allah.“ (Jaami’ul Masaail 4/339)
Kedua: Jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Shiddiq terhadap anaknya Aisyah Radiallahu ‘Anha ketika memberinya harta yang lebih (20 wisq) dari anak-anaknya yang lain.
Sebagian ulama menyatakan jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkuliahannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. (Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun ke- 14)
1. Surat Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.
Selain itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya (hukumnya sunnah dan lebih baik). Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah agar tidak muncul masalah di kemudian hari.
Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi.
2. Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait, selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada anaknya.
Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus dibalik-nama pada saat penghibahan itu.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.
Sebagai pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan pemindahan kepemilikan.
Kalau ini dikatakan wasiat, tidak boleh. Karena wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, apalagi kepada istri. Yang benar adalah hibah jika ada bukti, namun jika tidak ada bukti, si istri tetap mendapatkan ¼, dan selebihnya diberikan kepada keponakannya.
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
Diantara Syarat-Syarat Penghibah
Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan dan benar-benar memiliki harta tersebut.
Penghibah itu benar-benar ikhlas tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
Orang yang mendapat hibah, menerima hibah tersebut.
Kepemilikan pindah saat hibah diberikan, tidak harus menunggu meninggal dunia.
Bagaimana dengan saksi? Saksi itu dalam setiap transaksi hukumnya adalah sunnah. Termasuk dalam jual beli, hutang piutang ataupun hibah. Namun jika transaksi tersebut bernilai tinggi/berharga maka mengharuskan menghadirkan saksi karena jauh lebih baik. Hanya satu saja, yang mewajibkan adanya saksi yaitu dalam akad pernikahan. Padahal pernikahan termasuk bidang muamalah, namun muamalah khusus. Para ulama’ memisahkan antara muamalah dalam arti jual beli dan lain-lain, dan muamalah dalam arti pernikahan. Akad nikah ini harus ada saksi, jika tidak ada maka akad nikah tersebut tidak sah.
Apakah hibah ini harus sama pembagiannya antara satu anak dengan anak lainnya? Atau antara laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya ?
Para ulama berbeda pendapat di dalam masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Ibnu Jauzi, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits). Sedangkan ulama Hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al Qur’an dan hadist.
Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:
Pertama: jika tidak ada unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya adalah hadits di bawah ini:
Dari sahabat An-Nu’maan bin Basyiir, beliau berkata,
أَعْطَانِي أبي عَطِيَّةً فقالت عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حتى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال إني أَعْطَيْتُ ابْنِي من عَمْرَةَ بِنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً فَأَمَرَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ يا رَسُولَ اللَّهِ قال أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ هذا قال لَا قال فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ قال فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ
“Ayahku (Basyiir) memberikan suatu pemberian kepadaku, maka Ibuku ‘Amrah binti Rawaahah berkata, “Aku tidak ridha sampai engkau menjadikan Rasulullah sebagai saksi (atas pemberian ini)”. Maka ayahkupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Aku telah memberikan kepada anakku -dari istriku ‘Amrah binti Rawaahah- sebuah pemberian, lantas istriku memintaku untuk meminta persaksian darimu wahai Rasulullah”. Nabi berkata, “Apakah engkau juga memberikan kepada seluruh anak-anakmu sebagaimana yang kau berikan kepada An-Nu’maan?”. Ayahku berkata, “Tidak”. Nabi berkata, “Bertakwalah engkau kepada Allah, dan bersikaplah adil terhadap anak-anakmu!”. Maka ayahkupun balik dan mengambil kembali pemberian yang telah ia berikan.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun pemberian yang diberikan kepada An-Nu’man dari ayahnya adalah seorang budak milik ayahnya. (lihat HR. Abu Dawud)
Dalam lafal yang lain Rasulullah mengulang-ngulang perkataannya,
اعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ اعْدِلُوا بين أَبْنَائِكُمْ
“Bersikalah adil terhadap anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam lafal yang lain Rasulullah berkata (dalam konteks larangan)
لَا تُشْهِدْنِي على جَوْرٍ
“Janganlah engkau menjadikan aku saksi atas suatu kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafal yang lain Rasulullah bersabda:
فَأَشْهِدْ على هذا غَيْرِي ثُمَّ قال أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ في الْبِرِّ سَوَاءً قال بَلَى قال فلا إِذًا
Carilah orang selainku untuk menjadi saksi atas hal ini !, Apakah senang jika seluruh anak-anakmu sama berbakti kepadamu?, ayahku berkata, “Tentu saja”, Nabi berkata, “Kalau bagitu jangan (kau berikan pemberian terhadap An-Nu’maan).” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas jelas bahwasanya ayah An-Nu’man yang bernama Basyiir berpoligami, dan An-Nu’maan adalah seorang anak dari salah satu istrinya yang bernama ‘Amrah binti Rawaahah. Dan Basyiir ingin menghadiahkan seorang budak kepada An-Nu’man saja, sementara anak-anaknya yang lain dari istri-istri yang lainnya tidak ia berikan hadiah sebagaimana ia berikan kepada Nu’man.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa hadiah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya dengan tidak adil merupakan kedzaliman dan tidak sah, maka harus dikembalikan hadiah tersebut. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanaabilah dan Madzhab dzohiriah, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Qudamah Rahimahullahu dari madzhab Hanbali berkata, “Wajib bagi seseorang untuk menyamaratakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian –jika salah seorang diantara mereka tidak memiliki kondisi khusus yang membolehkan untuk dilebihkan dalam pemberian-. Jika ia mengkhususkan sebuah pemberian kepada sebagian anak-anaknya atau tidak sama rata dalam pemberian di antara anak-anaknya maka dia telah berdosa. Dan wajib baginya untuk menyamatarakan dengan salah satu dari dua cara, dengan mengambil kembali kelebihan pemberian yang telah diberikannya kepada sebagian anak-anaknya atau dengan menambah pemberian kepada anak-anaknya yang lain (sehingga sama rata).“ (Al-Mughni 8/256)
Ibnu Hazm Rahimahullahu berkata, “Tidak halal bagi seorangpun untuk memberi hadiah atau memberi shadaqah kepada salah seorang anaknya hingga ia memberikan yang sama kepada seluruh anak-anaknya. Dan tidak halal ia memberikan kepada anak lelaki lebih dari anak perempuannya atau sebaliknya. Jika dia melakukannya maka hadiah tersebut batal dan tertolak selamanya.“ (Al-Muhallaa 9/142)
Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu pernah ditanya, “Tentang seseorang yang mengkhususkan sebagian anak-anak putrinya dengan memberikannya sekitar 200 ribu dirham, dan sebagian lagi diberikan wakaf sebagian hartanya. Apakah ahli waris orang ini berhak untuk membatalkan ini semua atau tidak?”
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah, bahkan wajib baginya untuk berbuat adil diantara anak-anaknya sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, sebagaimana telah valid dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau berkata kepada Basyiir bin Sa’d, “Bertakwalah engkau kepada Allah dan bersikaplah adil diantara anak-anakmu.” Beliau juga berkata, “Janganlah menjadikan aku saksi atas kedzaliman!,” dan Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan kelebihan (harta yang telah ia hadiahkan kepada An-Nu’maan-pent) kepada seluruh anak-anaknya.
Maka jika orang ini telah meninggal dan ia tidak berbuat adil maka kedlalimannya harus ditolak menurut pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama, sebagaimana diperintahkan oleh Abu Bakr dan Umar terhadap harta Sa’d bin ‘Ubaadah. Dan seluruh anak-anaknya yang terdlalimi berhak untuk menuntut hak mereka dan berhak untuk membatalkan pengkhususan (hadiah harta yang telah dilakukan ayah mereka-pent) yang menjadikan mereka terdlalimi. Dan sikap membantu anak-anak tersebut dalam rangka agar mereka memperoleh hak mereka termasuk perbuatan amalan shaleh yang pelakunya diberi pahala oleh Allah.“ (Jaami’ul Masaail 4/339)
Kedua: Jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya, seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa yang dilakukan oleh Abu bakar as Shiddiq terhadap anaknya Aisyah Radiallahu ‘Anha ketika memberinya harta yang lebih (20 wisq) dari anak-anaknya yang lain.
Sebagian ulama menyatakan jika seorang ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan uang perkuliahannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya, sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. (Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun ke- 14)
Comments
Post a Comment